Sebagai orang Jogja, kami bangga banget sama slogan “Yogyakarta Berhati Nyaman.”
TEMPAT WISATA

Kami post di IG tempat iconic di Jogja— tulis caption: “Yogyakarta Berhati Nyaman. Senyaman aku ke kamu.” Bikin video di youtube tentang Jogja dengan backsound Kla Project, ditulis judul “Yogyakarta Selalu Nyaman di Hati.” Pokoknya cuma dibolak-balik aja.
Trend yang sekarang sedang menjangkiti milenial Jogja adalah foto di tempat-tempat wisata di Jogja. Kayak di sawah-sawah pake baju sexy dan kacamata item ala bule Ubud—padahal di sekitar rumahnya juga banyak sawah—dan post sambil tulis di caption “Hati ini ngga pernah senyaman Yogyakarta.”

Posting foto di pinggir pantai pakai topi lebar seakan-akan turis Jepang, “Mana yang lebih nyaman, aku atau Jogja?”

Semua nulis Yogyakarta Berhati Nyaman tanpa pernah tau makna sebenarnya apa dan siapa penciptanya.
Bagi orang Jogja, Jogja dan Nyaman adalah dua kata yang berurutan. Saking nyamannya, orang Jogja berusaha mengkondisikan semuanya nyaman untuk dirinya.
HARGA BARANG
Katakanlah kami merasa ngga nyaman di suatu tempat, kami langsung tulis di Google Review atau share di Grup FB.

Yang juga saya pernah baca dan tak kalah kecewanya dengan mbak-mbak di atas:
“Kue Klepon Mbak @WarsihTukangKlepon ini ga enak blas lho ya, kemanisan. Tolonglah yaaa..kalo jualan yang bener dikit, jangan cuma keliatan bagus di foto tapi ternyata pas dirasakke ..blehhh! Man eman duitku.”
Padahal kue klepon itu harganya paling cuma 2.000 per bungkus. Dan orang tadi mungkin cuma beli sebungkus, itu pun dianter sama yang jual. Keluar duit 2000, free ongkir, dan tetep protes !
Kalau kami ngga nyaman dengan harga suatu barang, kami tawar. Tapi itu biasanya hanya berlaku untuk produk asli Jogja. Louis Vuitton, Channel, Loubotin, ga akan ditawar. Tas asli Jogja, “mbok dikurangi dikit mba!”
Saya pernah juga jualan sesuatu. Dari harga 175 ribu ditawar ke 125 ribu. Dan yang bikin nyesek, yang nawar ini dateng pake mobil Pajero Sport. Padahal, buat beli bensin dia aja seminggu bisa 5x lipat dari harga barang saya.

Dari situ saya belajar. Kalau kenalan sama cowo Jogja, saya mesti ngomong, “Saya lahir di Jakarta. Saya lahir di Surabaya. Saya lahir di Australia.” Di Kongo, atau Zimbabwe sekalipun. Di manapun, asal bukan di Jogja. Karena begitu ketauan saya Made in Jogja, saya bakal ditawar.
KENDARAAN UMUM
Kami ngga nyaman naik kendaraan umum atau jalan kaki, kami mending panas-panas naik motor. Walopun cuma ke warung.
Kami bisa gowes naik sepeda 20 kilometer buat kejar target di Strava, tapi kami ngga mau jalan kaki 20 meter ke warung.

Seandainya ada MRT di Jogja, paling ramenya cuma sebulan doank. Itu pun cuma buat konten. Foto gitu di dalem, “wah koyo ning Jakarta yoo..”
Selebihnya, kosong. Sama kayak nasibnya Bus Trans Jogja. Balik lagi pada naik motor.

*Cuman satu nih; se-ngga nyaman apapun dengan kebijakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, ngga pernah ada orang Jogja yang saya kenal minta ganti Gubernur.